Sejarah pemilu Indonesia masih banyak sisi yang gelap, terlebih di masa tahun 1940-1950an. Jejak teknis penyelenggaraan nyaris hilang tanpa bekas. Contohnya tentang tata cara memberi suara pada pemilu 1955 ternyata selain mencoblos bisa dengan menulis. (bisa lihat postingan sebelumnya: Indonesia Tiga Kali Menulis). Sebelumnya yang diketahui secara luas Indonesia memilih hanya mencoblos saja, bahasa saat itu menusuk. Andai jejak ini diketahui dengan baik, mungkin disain surat suara pemilu tidak selebar sekarang. Jejak kerja anak bangsa meletakkan dasar atau fondasi penyelenggaraan pemilu Indonesia perlu direkontruksi setiap episodenya. Cicero mengatakan bahwa sejarah adalah guru kehidupan (De Oratore) yang bisa menjadi pelajaran untuk melangkah kedepan.
Demikian pula nasib sejarah pemilu lokal… yang diketahui bahwa pernah ada pemilu lokal setelah Indonesia merdeka di Kediri dan Surakarta tahun 1946 serta perolehan kursi beberapa pemenangnya. Namun kapan pemilunya, bagaimana prosesnya, pengaturannya seperti apa belum terlukis dengan utuh. Terlebih pemilu pada masa awal kemerdekaan adalah hal baru yang belum diketahui dengan baik oleh masyarakat Indonesia umumnya.
Geliat demokrasi ditingkat lokal pasca Indonesia merdeka berlangsung seiring dengan keputusan PPKI membentuk KNI, PNI dan BKR tanggal 22 Agustus 1945. Presiden Soekarno dalam pidatonya tanggal 23 Agustus 1945 memerintahkan rakyat didaerah membentuk KNI, PNI dan BKR. Kebijakan ini disebarluaskan keseluruh penjuru negeri dan mendorong dibentuknya tiga organisasi tersebut didaerah.
Keberadaan KND kemudian diatur melalui UU Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah tanggal 23 November 1945. Pada bagian menimbang UU tersebut berbunyi, “bahwa sebelumnya diadakan pemilihan umum perlu diadakan aturan buat sementara waktu untuk menetapkan kedudukan Komite Nasional Daerah. Namun karena hanya mengatur secara minimalis (hanya 6 pasal), penerapan didaerah tak seragam. Beberapa daerah setelah keluar UU tersebut mengambil inisiatif menyelenggarakan pemilu lokal untuk memilih anggota parlemen daerah pada tahun 1946-1948, antara lain: Kediri, Surakarta, Kalbar, Kalsel, Sulsel, Sulut dan Sulteng.
Penyelenggaraan pemilu lokal pertama kali di Indonesia setelah Indonesia merdeka adalah pemilu BPR (Badan Perwakilan Rakyat) daerah di Karesidenan Kediri. Pemilu tersebut membentuk KND yang berfungsi sebagai BPR daerah berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1945. Pemilu lokal pertama di Kediri tak lepas dari peran Ketua BPR Daerah Karesidenan Kediri, R. Abdulrahim Pratalykrama. Ia adalah salah satu dari 62 anggota BPUPKI yang mengusulkan syarat seorang presiden. Setelah BPUPKI dibubarkan sebelum proklamasi kemerdekaan, Pratalykrama, kakak dari Halim Perdanakusuma ditugaskan ke Kediri sebagai Residen yang kemudian memimpin perjuangan kemerdekaan bulan Agustus 1945 di Karesidenan Kediri.

Panitia Penyelenggaraan Pemilihan Anggota BPR Pusat Daerah Kediri dibentuk pada sidang KND Kediri tanggal 23 Juni 1946. Panitia tersebut membuat Aturan Pemilihan Anggauta Badan Perwakilan Rakyat Daerah Kediri yang ditetapkan tanggal 26 Juni 1946. Pengaturan teknis ini merupakan regulasi pemilu lokal pertama setelah Indonesia merdeka. Dalam aturan pemilihan tersebut ditentukan jumlah Anggota BPR Daerah Kediri sebanyak 100 orang dengan 80 diantaranya dipilih melalui pemilu bertingkat. Pemilih adalah anggota Dewan Desa yang dipilih sesuai pengaturan yang telah ditetapkan. 20 orang anggota lainnya ditentukan oleh Ketua BPR Daerah Kediri.
Daerah pemilihan berbasis kabupaten/kota, saat itu Karesidenan Kediri terdiri dari Kota Blitar, Kota Kediri, Kab. Blitar, Kab. Nganjuk (Berbek), Kab. Kediri, Kab. Trenggalek dan Kab. Tulungagung. Tempat pemilihan berbasis kecamatan atau bagian dari kota dengan setiap lingkungan dibentuk satu panitia pemilihan lingkungan. Peserta pemilu adalah partai politik dan badan perjuangan yang disebut dengan badan.
Pemungutan suara oleh anggota dewan desa (hasil pemilihan ditingkat desa) dilakukan tanggal 11 Juli 1946 di masing-masing daerah pemilihan, mulai pukul 10:00 sampai 20:00. Pemilih adalah anggota dewan desa dan tidak dapat diwakili bila berhalangan. Setiap pemilih hanya dapat memilih satu badan. Pemilihan bersifat rahasia yang disalurkan ruangan pemilih yang tersedia meja, alat tulis, dan kotak pemilihan yang terkunci.
Setiap pemilih mendapat blangko surat suara yang disediakan panitia pemilihan karesidenan. Blangko berisi nama lingkungan, nama distrik pemilihan, nama badan yang diberi bundaran (lingkaran atau kolom) untuk diisi tanda oleh pemilih. Penulisan nama lingkungan dan distrik pemilihan dilakukan oleh panitia lingkungan. Urutan pencantuman nama badan dilakukan dengan undian. Blangko disampaikan ke panitia lingkungan untuk diisi nama lingkungan dan distrik pemilihan. Panitia lingkungan memastikan blangko untuk pemilih serta ruangan pemilihan.
Kegiatan pemungutan suara dilakukan dengan sebelumnya penjelasan dari ketua panitia lingkungan tentang cara mengisi blangko. Setelah itu ketua panitia lingkungan memanggil setiap pemilih. Setiap pemilih kemudian menerima satu lembar blanko yang telah diberi paraf olehnya pada bagian kanan atas dan dipersilahkan ke ruangan pemilihan. Pemilih memberi suara dengan memberi tanda pada lingkaran dengan alat tulis yang disediakan. Blangko yang diisi lebih dari satu bundaran dinyatakan tidak sah. Pemilu selesai pada akhir Juli 1946 dengan perolehan kursi terbanyak oleh Masyumi (28 kursi), GPII (15 kursi), BTI (9 Kursi), Partai Sosialis (7 Kursi) dan PRI (5 Kursi).