18.8.45: Pemilu Dibahas

Mural Tokoh Perumus Teks Proklamasi di Jalan Imam Bonjol No. 1 (Sumber foto: Dokumentasi Pribadi)

Sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, PPKI melanjutkan kerja membangun Negara Indonesia, yaitu merampungkan penyusunan konstitusi sehingga hari ini ditetapkan sebagai hari konstitusi. Salinan dokumen otentik rapat PPKI yang disusun dan ulas oleh AB Kusuma menggambarkan suasana 18 Agustus 1945 (AB Kusuma: 2004), 76 tahun yang lalu.

Setelah terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden RI secara aklamasi Soekarno-Hatta atas usul Otto Iskandardinata, dibahas aturan peralihan UUD. Bung Karno selaku Ketua PPKI yang telah terpilih sebagai Presiden RI melanjutkan rapat PPKI dengan topik Pasal IV Aturan Peralihan UUD yang didalamnya menyebut Komite Nasional sebagai suatu organ negara membantu kerja Presiden sebelum terbentuk MPR dan DPR. Harapan Bung Karno, anggota komite nasional yang berdomisili di Jakarta agar mudah berkumpul setiap saat diperlukan.

Bung Karno mengatakan bahwa Komite Nasional sebagai pengganti PPKI dan perlu dibahas perihal pengangkatannya,

“Maka berhubung dengan itu dianggap lebih baik diganti dengan Komite Nasional, sedang tentang anggota Komite Nasional pada saat sekarang ini, sebetulnya belum diketahui siapa nanti akan mengangkat mereka.”

Kondisi pascaproklamasi masih ditengah kondisi peperangan Asia Timur Raya, termasuk di Indonesia. Proklamasi pun mengejutkan banyak pihak, utamanya pihak Jepang dan Belanda. Bung Karno pada bagian lain memberi gambaran kondisi:

“Sebagai penjelasan, saya beritahukan bahwa paham kami, ialah supaya Komite Nasional itu semobil-mobilnya, tetapi kita hidup dalam jaman yang genting dan kita tidak mengetahui apa yang terjadi hari besok. Misalnya, Komite Nasional itu kita pilih sekarang ini, anggotanya 10 atau 20, orang-orangnya sudah kita tentukan, mungkin orang-orang itu sudah tidak ada disini, entah kena bom entah ada kejadian apa. Untuk bisa ondervagen hal demikian itu, maka perancang aturan-aturan ini tidak menyebutkan, bagaimanakah cara membentuk Komite Nasional itu. Jikalau Komite Nasional ditentukan disini, maka anggotanya susah. Sekali lagi, umpamanya, sebagian dari Komite Nasional itu hilang, entah kena apa. Untuk mencari gantinya bagaimana caranya?.

Setelah pandangan dari sejumlah anggota PPKI, Bung Hatta menyampaikan:

“Jadi kita menghendaki Panitia itu sebagai suatu badan yang dipilih oleh rakyat. Memang pemilihan oleh rakyat sekarang tentu tidak bisa. Jadi, kalau Panitia Persiapan ini bisa menyerahkan pemilihan itu, dan mewakilkannya kepada Presiden, apalagi karena Komite Nasional itu sudah berdiri, yang -terdiri atas beberapa anggota yang ada-, dan bisa ditambah maka itu tidak apa; tetapi lebih baik cara memilihnya itu memakai ideologi pemilihan oleh rakyat.”

Pandangan ini direspon spontan oleh Sam Ratulangi:

“Dipilih?. Tetapi tidak bisa memilih.”

Bung Hatta melanjutkan pandangannya:

“Oleh karena itu bisa, serahkan kepada Presiden, untuk sementara menyiapkan Undang-Undang Dasar. Badan Persiapan dipilih oleh Pemerintah dan diganti dengan Komite Nasional yang dipilih oleh rakyat, sebagian dipilih benar-benar oleh rakyat dan sebagian ditunjuk oleh Presiden dengan mengindahkan susunan rakyat.”

Anggota PPKI lain yang tercatat menyampaikan pandangannya pada sesi ini adalah Sam Ratulangi, Otto Iskandardinata, Iwa Koesoemasoemantri, Soepomo, Latuharhary. Pembahasan bermuara pada disepakatinya rumusan Pasal IV, Aturan Peralihan UUD 1945: Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional.

Perjalanan bangsa kemudian mencatat upaya menyelenggarakan pemilu yang sangat dinamis sepanjang tahun 1945-1946. Mulai dari keberadaan partai tunggal, maklumat Oktober dan November serta keinginan melakukan pemilu bulan Januari 1946 sehingga bermunculan banyak partai politik sepanjang bulan November dan Desember (Kahin: 1995). Andai NICA dan Penjajah Belanda yang ikut didalamnya tak datang ke Jakarta tanggal 29 September 1945 (Osman Roliby: 1953), mungkin saja Pemilu pertama Indonesia terlaksana di akhir tahun 1946.

Mengingat Maklumat Pemerintah No. X dikeluarkan tanggal 3 November 1945, sulit secara teknis menyiapkan pemilu dalam waktu dua bulan. Bila berkaca pada kesiapan pemilu lokal di Kediri, pengorganisasian penyelenggaraan pemilu lokal secara bertingkat hanya memerlukan waktu empat bulan (April-Juli 1946) sejak undang-undangnya dibuat.

Walau Pemerintah Indonesia terpaksa pindah dari Jakarta ke Jogja tanggal 3 Januari 1945, upaya melaksanakan pemilu tahun 1946 dilaksanakan dengan terbitnya UU Nomor 12 Tahun 1946. Didalamnya mengatur keberadaan badan penyelenggara pemilu dengan nama Badan Pembaharuan Susunan (BPS) yang ditugaskan membentuk Komite Nasional Pusat (KNP) baru. Sejak dilantik bulan September 1946, BPS telah bekerja mulai membentuk Cabang di daerah, mencetak formulir model B sampai model E serta sosialisasi pemilu. Namun akhir tahun 1946 kondisi nasional tidak memungkinkan sehingga Pemerintah mengambil kebijakan lain.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *